7 Kunci menuju pernikahan

Ternyata ngambil keputusan untuk menikah tu gampang-gampang susah ya. Ga semudah ketika kita mutusin untuk 'jadian'. Semua-mua jadi kelihatan menakutkan, bingung harus gimana nantinya setelah menikah, wah ternyata ribet juga ya...mungkin ini ga berlaku untuk semua orang tapi kebanyakan pasti ngalami kebingungan yang teramat sangat ketika tiba waktunya untuk menentukan jalan hidup yang harus dijalani selanjutnya karena waktu terus berjalan maju jadi mau ga mau ya harus dihadapi.

Na..disini saya pingin share dikit tips yang pernah saya baca diblog temen mengenai gimana dan apa saja yang harus disepakati sebelum akhirnya kita mutusin untuk menjalani sisa hidup kita bersama pasangan yang udah menjadi pilihan kita.

Beberapa kunci yang harus dibicarakan dengan pasangan kita adalah:
1. Siapa bendaharanya?
Yang penting adalah transparansi antara Anda dan pasangan. Kedua belah pihak sama-sama tahu penghasilan masing-masing, dan yang terpenting, bagaimana memaksimalkan dan mengatur uang tersebut.
“Siapa yang memegang uang, bukan hal utama. Fleksibel saja. Apalagi sekarang ada joint account atau tabungan bersama di mana suami-istri bisa sama-sama memantau,” ujar Johanes.

Jika keuangan dipegang istri, apakah suami harus menyerahkan semua gajinya? Menurut Johanes, konsep ini tidak selalu tepat, karena ada istri yang tak bisa me-manage uang. Selain itu, jika Anda tinggal di kota besar seperti Jakarta, konsep suami menyerahkan 100% gaji pada istri juga “merepotkan”. Sebab, suami yang mobile atau bekerja, akan membutuhkan uang, semisal untuk beli bensin. Jika semua diserahkan ke istri dan tiap hari minta ke istri, repot.
Sebelum menyerahkan gaji ke istri, suami sebaiknya menentukan berapa anggaran per bulan, misalnya kebutuhan bensin dan hiburan (seperti beli buku untuk dirinya sendiri). Yang perlu diserahkan adalah yang menyangkut kebutuhan bersama.

Jadi, harus pintar-pintar mengatur supaya satu sama lain tidak begitu tergantung. Sangat perlu bikin anggaran keuangan bulanan yang jelas, mulai dari biaya listrik, telepon, air, makan, pendidikan anak, kesehatan, rekreasi, tabungan, dan hal lain yang tak terduga.

2. Tinggal di mana?
Tak jarang, lantaran belum punya tempat tinggal sendiri, pasangan suami-istri masih tinggal di rumah orangtua atau mertua. Selain itu, dalam kultur masyarakat Indonesia, kadang orangtua tak ingin anaknya meninggalkan rumah. Jadi, lebih enak tinggal di rumah sendiri atau mertua?

Menurut Johanes, idealnya dalam satu rumah ada satu keluarga dengan satu kepala keluarga. Jika satu rumah ada lebih dari satu kepala keluarga, sudah tidak sehat. Jika tinggal di rumah sendiri, Anda dan pasangan punya kemandirian untuk mengatur rumah tangga, mulai dari mengatur keuangan, tata letak rumah, hingga kondisi rumah. Anda juga memiliki kebebasan secara individual.

Sebaliknya, berikut hal-hal yang mungkin terjadi jika tinggal dengan mertua :
- Tidak memiliki keleluasaan untuk melakukan “eksperimen” sendiri, seperti mengatur rumah karena harus tergantung pada si empunya rumah, yaitu mertua.
- Perlu penyesuaian. Jika belum begitu lama mengenal mertua, proses penyesuaian mungkin akan terbentur ke sana kemari dan bisa jadi akan menimbulkan gesekan antara Anda dengan pasangan atau Anda dengan mertua.
- Perlu membatasi dan menguasai diri untuk bisa cocok dengan mertua.
- Dalam segi keuangan, biasanya jika anak masih bekerja sedangkan orangtua tidak, anak lebih banyak mendukung orang tua. Begitu juga sebaliknya. Jika orangtuanya sangat mapan dan anaknya belum, orangtua yang lebih men-support anak.

Untuk keuangan, suami-istri bisa sepakat berbagi dengan orangtua atau mertua. Semisal disepakati masalah kebutuhan dapur ditangani orangtua, sementara Anda dan pasangan menangani listrik dan telepon. “Jadi, perlu ada garis jelas mana yang boleh dan mana yang tidak. Mana yang harus ditangani anak dan mana orangtua. Jangan sampai berkesan, anak menguasai orangtua dan sebaliknya,” jelas Johanes.

3. Berani berkata “tidak”
Dalam kultur Indonesia, campur tangan orangtua dalam kehidupan rumah tangga anak masih tinggi. Sejauh mana peran orangtua terhadap pasangan Anda, harus dikenali dalam masa pacaran.

Jangan sampai, setelah menikah pasangan tak bisa lepas dari orangtua, dalam arti “anak mami” atau “anak papi”. Contohnya, beli mobil saja pasangan harus bertanya ke orangtua, sedangkan Anda malah tak dimintai pendapat.

Pasangan akan merasa tak dihargai. Padahal, dalam pernikahan, pasangan adalah orang yang dimintai saran, bukan orang lain. Banyak pasangan terjebak dalam hal ini.”
Agar tidak terjadi, sebisa mungkin tidak sedikit-sedikit lari ke orangtua. Tanpa bermaksud menyakiti hati orangtua, berusaha dan berani mengambil keputusan sendiri. Jika selalu tergantung pada orangtua, lama-kelamaan kita tidak punya identitas diri. Jadi, pelan-pelan harus berani berkata “tidak” untuk sesuatu yang kita yakini benar. Dan harus bersama pasangan, jangan hanya satu pihak.

4. Batasi “hobi”
Anda suka nongkrong bareng teman sepulang kantor? Nah, setelah menikah, sebaiknya batasi frekuensi acara nongkrong bareng teman. Intinya, hindari melakukan kebiasaan-kebiasaan yang tidak mendukung kehidupan suami-istri.

5. Alokasi keuangan
Beli mobil atau furnitur? Keputusan membeli mobil, misalnya, untuk suami-istri yang kondisi keuangannya pas-pasan, harus dibicarakan benar-benar. Jangan sampai salah satu pihak nantinya tidak puas. Intinya, modal atau harta yang merupakan hasil kerja bersama, harus disepakati bersama. Hal ini juga berlaku untuk harta yang merupakan hasil keringat sebelum menikah.

6. Punya anak atau tidak?
Hal ini mesti dibahas sebelum menikah. Jangan sampai setelah menikah Anda ingin punya anak, sedangkan pasangan Anda tidak. Jika memang ingin punya anak, sebaiknya pasangan suami-istri melakukan tes kesehatan pranikah.

7. Istri bekerja atau jadi ibu rumah tangga?
Hal ini berhubungan dengan kondisi ekonomi. Jika sebelum menikah Anda dan pasangan sudah bekerja dan setelah menikah suami tetap menginginkan Anda bekerja, Anda perlu pintar membagi waktu antara pekerjaan dan rumah tangga. Apalagi jika kelak punya anak. Kendati demikian, mengurus rumah tangga dan anak tidak dibebankan 100 persen pada istri. Idealnya, rumah tangga dan anak bisa dikerjakan berdua.

Semoga ini bisa jadi masukan buat siapa aja yang bingung nyiapin hati dan pikiran menuju kehidupan yang baru....

3 coment:

deya mengatakan...

Boleh juga tahu tentang hal-hal begini.
Tapi untuk segera ke jenjang pernikahan, disaat usia sudah tepat, tunggu apa lagi.
Gak usah lah, non menghabiskan energi untuk hal-hal seperti ini.
Jalani aja. Dengarkan pepatah Jawa :'ngeli nanging ora keli'

Dan, jalanterus tuh rencana indahnya.

irfa world mengatakan...

saya masih bingung,n selalu sensitif bila masalah keuangan

Dian mengatakan...

Bagus sekali isi postingannya, bisa buat bekal calon pasutri yang ingin ke jenjang yang lebih lanjut.

Posting Komentar